Rabu, 19 Juni 2013

Perokok ikut Demo BBM itu Konyol. Loh, Kok?

Judul di atas tampak begitu provokatif. Saya juga awalnya merasa demikian. Tetapi setelah dipikirkan secara mendalam, ternyata ada kesalahan berpikir dalam menyikapi kenaikan BBM. Ada yang luput dari perhatian pengamat dan pencari angle berita.

Rencana kenaikan BBM disikapi dengan sangat beragam. Satu yang paling mencolok adalah penolakan yang diekspresikan dengan menggelar demo besar-besaran. Para wakil rakyat di DPR pun riuh gaduh. Padahal, menurut saya kenaikan BBM itu tidak lebih dari masalah manajemen keuangan pribadi atau manajemen keuangan keluarga. Janganlah kita berpikir terlalu WAH, kalau soal BBM itu menyangkut APBN, menyangkut nasib perekonomian negara, menyangkut nasib ratusan juta masyarakat Indonesia.

Sekali lagi, BBM tidak lebih dari soal urusan anggaran rumah tangga. Kenapa? Karena BBM merupakan salah satu item dari sekian item pengeluaran rumah tangga, pengeluaran pribadi. Artinya, kenaikan BBM harusnya membuat kita masing-masing pribadi mengevaluasi pendapatan dan pengeluaran kita. Kita harus berani jujur dalam melihat item pengeluaran kita selain BBM. Apakah pengeluaran-pengeluaran itu sudah proporsional jika dibandingkan dengan pendapatan.

Dalam hal ini, saya secara khusus mau mengajak melihat secara head to head antara kebutuhan BBM dengan "kebutuhan" rokok. Secara sadar untuk rokok kata kebutuhan saya kasih tanda petik, karena bagi saya rokok bukan kebutuhan. Tanpa BBM kita tidak bisa beraktifitas, sehingga BBM dibutuhkan. Namun, apakah tanpa rokok kita tidak bisa beraktifitas? Tentu masih sangat bisa!

Dilihat dari tingkat kebutuhan tentulah BBM jauh di atas rokok. Secara logika, orang akan lebih memprioritaskan untuk alokasi dana kepada kebutuhan yang paling penting, lalu secara berurutan sampai pada kebutuhan yang bisa dikatakan kurang penting. Namun, yang terjadi justru kebanyakan orang khususnya perokok yang jumlahnya sangat banyak lebih rela mengeluarkan uang untuk rokok daripada BBM.

Ironisnya, berdasarkan penelitian para perokok dari kalangan menengah ke bawah lebih memprioritaskan rokok ketimbang membeli beras dan susu anaknya. "Para kepala keluarga miskin yang perokok aktif itu ternyata sebesar 22 persen pengeluaran mingguannya digunakan untuk membeli rokok. Prosentase pembelian rokok dari kepala keluarga miskin itu ternyata porsinya melampaui pembelian beras yang hanya sekitar 19 persen," (http://vlog.viva.co.id/news/read/56258-orang_miskin_pilih_beli_rokok_daripada_beras).

Untuk lebih jelasnya, mari kita lihat harga rokok dan bensin. Untuk saat ini harga rokok per bungkus sudah di atas Rp.10.000. Tapi mari kita pukul rata saja di harga Rp.10.000. Umumnya, orang merokok sehari satu bungkus. Artinya dalam satu hari dia menghabiskan Rp.10.000 untuk rokok. Padahal uang dengan jumlah tersebut, berdasarkan pengalaman saya, kalau untuk beli bensin bisa untuk 3 hari. Jika membeli bensin non subsidi maka 10.000 untuk satu hari.

Dalam perjalanan perekonomian bangsa, harga rokok tidak pernah turun. Harganya terus melambung seiring dengan peningkatan cukai rokok. Tetapi, apakah ada demo yang menolak kenaikan rokok? Tetapi, ketika harga BBM naik sedikit dengan periode kenaikan yang panjang, orang sudah kalap. Yang menurut saya konyol, orang demo kenaikan BBM tapi sepanjang demo mereka merokok. Ada apa ini sebenarnya?

Fenomena ini di mata saya menggambarkan bagaimana kita lebih rela "membakar uang" untuk rokok ketimbang untuk BBM, atau bahkan kebutuhan pokok. Fenomena ini juga menunjukkan tata kelola keuangan kita masih harus ditingkatkan lagi untuk menakar, mana yang menjadi prioritas mana yang tidak. Eemmm..apakah juga bisa dikatakan, "Saya ikut demo menolak kenaikan BBM supaya saya tetap bisa beli rokok. Kan kalau BBM naik 'jatah' saya beli rokok jadi kepotong!"

Kalau di awal saya mengatakan bahwa kenaikan BBM itu soal manajemen anggaran keluarga, maka kompensasi BBM pun tidak usah berpikir jauh sampai BLSM (Bantuan Langsung Sementara Masyarakat). Karena, kompensasi BBM juga tidak jauh dari urusan anggaran rumah tangga. Di saat BBM baik, buatlah kompensasi sendiri yakni dengan mengalihkan pengeluaran yang kurang perlu untuk kebutuhan pokok. Karena rokok dinilai tidak menjadi prioritas dalam rumah tangga, alihkanlah sebagian (besar) dana rokok untuk kebutuhan yang jauh lebih penting, seperti membeli BBM, membeli beras, dan makanan yang bergizi lengkap.

Semoga bisa memberi perspektif lain dari fenomena kenaikan BBM yang lagi santer diwartakan seluruh media




 

Wisata ini Padukan Akulturasi dan Semangat Maritim

  

Angin berhembus kencang menghapus rasa panas di kulit, karena terpaan terik mentari. Debu menyeruak tiap kali kaki melangkah di pelataran Benteng Kuto Besak, yang sekaligus menjadi tepian Sungai Musi, Palembang, Sumatera Selatan. Memang, sudah beberapa hari itu Palembang mengerontang ditinggal gemercik hujan.
 
Kami ingin pergi ke Pulo Kemaro. Sebuah tempat wisata yang cukup tersohor di Bumi Sriwijaya ini. Dengan dahi mengrenyit menahan panas, kami bertanya kepada beberapa laki-laki nelayan di bibir sungai tentang keberadaan perahu sewaan.

Perahu atau penduduk setempat menyebutnya ketek, menjadi transportasi utama untuk mencapai tempat yang berupa pulau di sebelah timur Kota Palembang atau sekitar lima kilo meter sebelah hilir Jembatan Ampera itu. 

Naik ketek dengan mesin tempel menjadi bagian perjalan hidup yang tidak terlupakan. Sejauh ini, kami tidak pernah membayangkan bisa melewati bagian bawah Jembatan Ampera yang menjadi icon Kota Palembang. Tidak hanya itu, dengan ketek pula kami menjumpai berbagai aktivitas warga di sepanjang aliran Sungai Musi. 



Misalnya, ada yang berniaga dengan kapal-kapal besar, berjumpa dengan warga yang menambang pasir, aktivitas pelabuhan barang, dan yang menarik adalah ketika berpapasan dengan perahu cepat. Ombak yang mereka timbulkan membuat ketek kami berayun-ayun, bahkan sempat melontarkan pantat kami dari sepotong papan yang menjadi landasan duduk.  

Pulo Kemaro sangat mudah dikenali. Dari kejauhan, setelah melakukan perjalanan 30 menit, di tengah rerimbunan pohon tampak bangunan Pagoda setinggi 9 tingkat bercat mayoritas merah dan kuning. Dua warna yang lekat dengan budaya Tionghoa.  

Kata “kemaro” sendiri dalam bahasa Indonesia berarti kemarau. Dinamakan Pulo Kemaro atau Pulau Kemarau karena pulau ini tidak pernah digenangi air walaupun volume air di sungai Musi sedang meningkat.  

Di bagian depan pulau ada bangunan gedung yang merupakan Klenteng tempat sembahyang umat Budha. Klenteng yang dibangun sejak 1962 itu awalnya hanya berupa bangunan Klenteng Soei Goeat Kiong (atau yang lebih dikenal dengan Klenteng Kuan Im). Bangunan Pagoda berlantai 9 itu baru mulai dibangun tahun 2006. Di depan klenteng terdapat pula makam Tan Bun An dan Siti Fatimah yang berdampingan. Kisah cinta mereka berdualah yang menjadi legenda terbentuknya pulau ini.



Sebuah Legenda

Pada satu kisah, seorang putri Palembang Siti Fatimah terlibat kisah cinta dengan anak seorang putra raja di Cina bernama Tan Bun Ann. Tan Bun Ann yang terperdaya oleh kecantikan sang putri mengajukan niat untuk melamar Siti Fatimah. Ayah Siti Fatimah, seorang raja di Sriwijaya, mengajukan syarat kepada Tan Bun Ann untuk menyediakan sembilan guci berisi emas. Keluarga Tan Bun Ann bersedia menerima syarat itu, maka disediakanlah sembilan guci berisi emas.

Karena khawatir akan ancaman perompak, tanpa sepengetahuan Tan Bun Ann, keluarganya menaruh sayur-mayur di atas emas-emas di dalam guci itu. Sesampainya di Sriwijaya, ketika akan menyerahkan kesembilan guci tersebut Tan Bun Ann memeriksa isinya. Betapa terkejut dan marahnya dia ketika melihat isi guci tersebut adalah sayur-mayur. Tanpa memeriksa lebih dahulu, guci-guci tersebut dilemparkan ke Sungai Musi. Ketika guci-guci tersebut dilemparkan, ada satu guci yang pecah, sehingga menampakkan kepingan emas yang ada di dalamnya.

Melihat hal itu, Tan Bun Ann menyesali perbuatannya dan menceburkan diri ke Sungai Musi. Siti Fatimah pun lalu ikut menceburkan diri sembari berkata “Bila suatu saat ada tanah yang tumbuh di tepian sungai ini, maka di situlah kuburan saya!”. Kalimatnya menjadi nyata dengan adanya Pulo Kemaro. Itulah legenda asal-usul Pulau Kemaro.


Bangunan yang dipercayai sebagai makam Siti Fatimah bergabung dalam satu komplek Klenteng Hok Tjing Rio di mana di dalamnya juga terdapat Dewa Bumi (Hok Tek Cin Sin), dewanya umat Budha. Di makam Siti Fatimah, para penziarah juga dapat melihat sejauh mana peruntungan yang di dapat di masa depan.

Kehadiran Klenteng Hok Tjing Rio dengan luas 3,5 hektar itu juga menjadi salah satu jejak sejarah Cina dalam perkembangan Palembang. Bangunan klenteng terdiri atas pendopo di tepi Sungai Musi, dua menara tempat pembakaran uang emas, ruang utama, ruang belakang, dan ruang keramat kuburan pasangan Siti Fatimah dan Tan Bun An.

Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa Pulau Kemaro menghadirkan dua unsur keyakinan berbeda namun tetap berjalan berkesinambungan. “Siti Fatimah ini muslim, dan di dalamnya ada altar persembahan untuk Dewa Bumi yang diyakini oleh umat Budha. Berdampingannya dua keyakinan dalam satu komplek di Pulau Kemaro ini membuktikan bahwa bersatunya umat Budha dan Islam membawa keselarasan dalam kehidupan, karena keyakinan adalah mutlak hubungannya antara manusia dengan Sang Pencipta. Akulturasi perlu terus dikenang untuk menanamkan semangat toleransi dan kerja sama bagi generasi baru,” terang Linda, salah satu penjaga di Pulo Kemaro.

Menurut saya, Pulo Kemaro yang total wilayahnya 24 hektar ini layak menjadi ikon wisata budaya dan wisata keagamaan. Tidak hanya untuk kawasan nasional, tetapi juga internasional. Sekaligus menjadi saksi nyata idealisme Pancasila yang menjadi landasan Negara Indonesia tercinta.


Setelah puas berkeliling dan mengabadikan tempat bersejarah ini, kami pun meninggalkan pulau. Dalam perjalanan pulang, kembali kami menikmati kehidupan sungai yang sangat dinamis. Dalam hati, saya mengakui bahwa akulturasi yang begitu kuat dalam legenda Pulo Kemaro merupakan konsekuensi logis dari budaya maritim bangsa Indonesia yang sudah terkenal sejak zaman nenek moyang. 

Budaya ini pulalah yang membentuk karakter bangsa Indonesia sebagai bangsa yang terbuka dan tangguh. Terbuka pada perbedaan, dan bahkan menjadikan perbedaan tersebut menjadi kekayaan untuk maju. (ONE)

Angin berhembus kencang menghapus rasa panas di kulit, karena terpaan terik mentari. Debu menyeruak tiap kali kaki melangkah di pelataran Benteng Kuto Besak, yang sekaligus menjadi tepian Sungai Musi, Palembang, Sumatera Selatan. Memang, sudah beberapa hari itu Palembang mengerontang ditinggal gemercik hujan.
Kami ingin pergi ke Pulo Kemaro. Sebuah tempat wisata yang cukup tersohor di Bumi Sriwijaya ini. Dengan dahi mengrenyit menahan panas, kami bertanya kepada beberapa laki-laki nelayan di bibir sungai tentang keberadaan perahu sewaan.
Perahu atau penduduk setempat menyebutnya ketek, menjadi transportasi utama untuk mencapai tempat yang berupa pulau di sebelah timur Kota Palembang atau sekitar lima kilo meter sebelah hilir Jembatan Ampera itu.
Naik ketek dengan mesin tempel menjadi bagian perjalan hidup yang tidak terlupakan. Sejauh ini, kami tidak pernah membayangkan bisa melewati bagian bawah Jembatan Ampera yang menjadi icon Kota Palembang. Tidak hanya itu, dengan ketek pula kami menjumpai berbagai aktivitas warga di sepanjang aliran Sungai Musi. Misalnya, ada yang berniaga dengan kapal-kapal besar, berjumpa dengan warga yang menambang pasir, aktivitas pelabuhan barang, dan yang menarik adalah ketika berpapasan dengan perahu cepat. Ombak yang mereka timbulkan membuat ketek kami berayun-ayun, bahkan sempat melontarkan pantat kami dari sepotong papan yang menjadi landasan duduk.
Pulo Kemaro sangat mudah dikenali. Dari kejauhan, setelah melakukan perjalanan 30 menit, di tengah rerimbunan pohon tampak bangunan Pagoda setinggi 9 tingkat bercat mayoritas merah dan kuning. Dua warna yang lekat dengan budaya Tionghoa.
Kata “kemaro” sendiri dalam bahasa Indonesia berarti kemarau. Dinamakan Pulo Kemaro atau Pulau Kemarau karena pulau ini tidak pernah digenangi air walaupun volume air di sungai Musi sedang meningkat.
Di bagian depan pulau ada bangunan gedung yang merupakan Klenteng tempat sembahyang umat Budha. Klenteng yang dibangun sejak 1962 itu awalnya hanya berupa bangunan Klenteng Soei Goeat Kiong (atau yang lebih dikenal dengan Klenteng Kuan Im). Bangunan Pagoda berlantai 9 itu baru mulai dibangun tahun 2006. Di depan klenteng terdapat pula makam Tan Bun An dan Siti Fatimah yang berdampingan. Kisah cinta mereka berdualah yang menjadi legenda terbentuknya pulau ini.
Sebuah Legenda
Pada satu kisah, seorang putri Palembang Siti Fatimah terlibat kisah cinta dengan anak seorang putra raja di Cina bernama Tan Bun Ann. Tan Bun Ann yang terperdaya oleh kecantikan sang putri mengajukan niat untuk melamar Siti Fatimah. Ayah Siti Fatimah, seorang raja di Sriwijaya, mengajukan syarat kepada Tan Bun Ann untuk menyediakan sembilan guci berisi emas. Keluarga Tan Bun Ann bersedia menerima syarat itu, maka disediakanlah sembilan guci berisi emas.
Karena khawatir akan ancaman perompak, tanpa sepengetahuan Tan Bun Ann, keluarganya menaruh sayur-mayur di atas emas-emas di dalam guci itu. Sesampainya di Sriwijaya, ketika akan menyerahkan kesembilan guci tersebut Tan Bun Ann memeriksa isinya. Betapa terkejut dan marahnya dia ketika melihat isi guci tersebut adalah sayur-mayur. Tanpa memeriksa lebih dahulu, guci-guci tersebut dilemparkan ke Sungai Musi. Ketika guci-guci tersebut dilemparkan, ada satu guci yang pecah, sehingga menampakkan kepingan emas yang ada di dalamnya.
Melihat hal itu, Tan Bun Ann menyesali perbuatannya dan menceburkan diri ke Sungai Musi. Siti Fatimah pun lalu ikut menceburkan diri sembari berkata “Bila suatu saat ada tanah yang tumbuh di tepian sungai ini, maka di situlah kuburan saya!”. Kalimatnya menjadi nyata dengan adanya Pulo Kemaro. Itulah legenda asal-usul Pulau Kemaro.
Bangunan yang dipercayai sebagai makam Siti Fatimah bergabung dalam satu komplek Klenteng Hok Tjing Rio di mana di dalamnya juga terdapat Dewa Bumi (Hok Tek Cin Sin), dewanya umat Budha. Di makam Siti Fatimah, para penziarah juga dapat melihat sejauh mana peruntungan yang di dapat di masa depan.
Kehadiran Klenteng Hok Tjing Rio dengan luas 3,5 hektar itu juga menjadi salah satu jejak sejarah Cina dalam perkembangan Palembang. Bangunan klenteng terdiri atas pendopo di tepi Sungai Musi, dua menara tempat pembakaran uang emas, ruang utama, ruang belakang, dan ruang keramat kuburan pasangan Siti Fatimah dan Tan Bun An.
Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa Pulau Kemaro menghadirkan dua unsur keyakinan berbeda namun tetap berjalan berkesinambungan. “Siti Fatimah ini muslim, dan di dalamnya ada altar persembahan untuk Dewa Bumi yang diyakini oleh umat Budha. Berdampingannya dua keyakinan dalam satu komplek di Pulau Kemaro ini membuktikan bahwa bersatunya umat Budha dan Islam membawa keselarasan dalam kehidupan, karena keyakinan adalah mutlak hubungannya antara manusia dengan Sang Pencipta. Akulturasi perlu terus dikenang untuk menanamkan semangat toleransi dan kerja sama bagi generasi baru,” terang Linda, salah satu penjaga di Pulo Kemaro.
Menurut saya, Pulo Kemaro yang total wilayahnya 24 hektar ini layak menjadi ikon wisata budaya dan wisata keagamaan. Tidak hanya untuk kawasan nasional, tetapi juga internasional. Sekaligus menjadi saksi nyata idealisme Pancasila yang menjadi landasan Negara Indonesia tercinta.
Setelah puas berkeliling dan mengabadikan tempat bersejarah ini, kami pun meninggalkan pulau. Dalam perjalanan pulang, kembali kami menikmati kehidupan sungai yang sangat dinamis. Dalam hati, saya mengakui bahwa akulturasi yang begitu kuat dalam legenda Pulo Kemaro merupakan konsekuensi logis dari budaya maritim bangsa Indonesia yang sudah terkenal sejak zaman nenek moyang. Budaya ini pulalah yang membentuk karakter bangsa Indonesia sebagai bangsa yang terbuka dan tangguh. Terbuka pada perbedaan, dan bahkan menjadikan perbedaan tersebut menjadi kekayaan untuk maju.
- See more at: http://jelajahbumipapua.com/home.php?link=content-detail-tulis&kode=135&jdl=Wisata.ini.Padukan.Akulturasi.dan.Semangat.Maritim#sthash.SlU36nRa.dpuf
Angin berhembus kencang menghapus rasa panas di kulit, karena terpaan terik mentari. Debu menyeruak tiap kali kaki melangkah di pelataran Benteng Kuto Besak, yang sekaligus menjadi tepian Sungai Musi, Palembang, Sumatera Selatan. Memang, sudah beberapa hari itu Palembang mengerontang ditinggal gemercik hujan.
Kami ingin pergi ke Pulo Kemaro. Sebuah tempat wisata yang cukup tersohor di Bumi Sriwijaya ini. Dengan dahi mengrenyit menahan panas, kami bertanya kepada beberapa laki-laki nelayan di bibir sungai tentang keberadaan perahu sewaan.
Perahu atau penduduk setempat menyebutnya ketek, menjadi transportasi utama untuk mencapai tempat yang berupa pulau di sebelah timur Kota Palembang atau sekitar lima kilo meter sebelah hilir Jembatan Ampera itu.
Naik ketek dengan mesin tempel menjadi bagian perjalan hidup yang tidak terlupakan. Sejauh ini, kami tidak pernah membayangkan bisa melewati bagian bawah Jembatan Ampera yang menjadi icon Kota Palembang. Tidak hanya itu, dengan ketek pula kami menjumpai berbagai aktivitas warga di sepanjang aliran Sungai Musi. Misalnya, ada yang berniaga dengan kapal-kapal besar, berjumpa dengan warga yang menambang pasir, aktivitas pelabuhan barang, dan yang menarik adalah ketika berpapasan dengan perahu cepat. Ombak yang mereka timbulkan membuat ketek kami berayun-ayun, bahkan sempat melontarkan pantat kami dari sepotong papan yang menjadi landasan duduk.
Pulo Kemaro sangat mudah dikenali. Dari kejauhan, setelah melakukan perjalanan 30 menit, di tengah rerimbunan pohon tampak bangunan Pagoda setinggi 9 tingkat bercat mayoritas merah dan kuning. Dua warna yang lekat dengan budaya Tionghoa.
Kata “kemaro” sendiri dalam bahasa Indonesia berarti kemarau. Dinamakan Pulo Kemaro atau Pulau Kemarau karena pulau ini tidak pernah digenangi air walaupun volume air di sungai Musi sedang meningkat.
Di bagian depan pulau ada bangunan gedung yang merupakan Klenteng tempat sembahyang umat Budha. Klenteng yang dibangun sejak 1962 itu awalnya hanya berupa bangunan Klenteng Soei Goeat Kiong (atau yang lebih dikenal dengan Klenteng Kuan Im). Bangunan Pagoda berlantai 9 itu baru mulai dibangun tahun 2006. Di depan klenteng terdapat pula makam Tan Bun An dan Siti Fatimah yang berdampingan. Kisah cinta mereka berdualah yang menjadi legenda terbentuknya pulau ini.
Sebuah Legenda
Pada satu kisah, seorang putri Palembang Siti Fatimah terlibat kisah cinta dengan anak seorang putra raja di Cina bernama Tan Bun Ann. Tan Bun Ann yang terperdaya oleh kecantikan sang putri mengajukan niat untuk melamar Siti Fatimah. Ayah Siti Fatimah, seorang raja di Sriwijaya, mengajukan syarat kepada Tan Bun Ann untuk menyediakan sembilan guci berisi emas. Keluarga Tan Bun Ann bersedia menerima syarat itu, maka disediakanlah sembilan guci berisi emas.
Karena khawatir akan ancaman perompak, tanpa sepengetahuan Tan Bun Ann, keluarganya menaruh sayur-mayur di atas emas-emas di dalam guci itu. Sesampainya di Sriwijaya, ketika akan menyerahkan kesembilan guci tersebut Tan Bun Ann memeriksa isinya. Betapa terkejut dan marahnya dia ketika melihat isi guci tersebut adalah sayur-mayur. Tanpa memeriksa lebih dahulu, guci-guci tersebut dilemparkan ke Sungai Musi. Ketika guci-guci tersebut dilemparkan, ada satu guci yang pecah, sehingga menampakkan kepingan emas yang ada di dalamnya.
Melihat hal itu, Tan Bun Ann menyesali perbuatannya dan menceburkan diri ke Sungai Musi. Siti Fatimah pun lalu ikut menceburkan diri sembari berkata “Bila suatu saat ada tanah yang tumbuh di tepian sungai ini, maka di situlah kuburan saya!”. Kalimatnya menjadi nyata dengan adanya Pulo Kemaro. Itulah legenda asal-usul Pulau Kemaro.
Bangunan yang dipercayai sebagai makam Siti Fatimah bergabung dalam satu komplek Klenteng Hok Tjing Rio di mana di dalamnya juga terdapat Dewa Bumi (Hok Tek Cin Sin), dewanya umat Budha. Di makam Siti Fatimah, para penziarah juga dapat melihat sejauh mana peruntungan yang di dapat di masa depan.
Kehadiran Klenteng Hok Tjing Rio dengan luas 3,5 hektar itu juga menjadi salah satu jejak sejarah Cina dalam perkembangan Palembang. Bangunan klenteng terdiri atas pendopo di tepi Sungai Musi, dua menara tempat pembakaran uang emas, ruang utama, ruang belakang, dan ruang keramat kuburan pasangan Siti Fatimah dan Tan Bun An.
Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa Pulau Kemaro menghadirkan dua unsur keyakinan berbeda namun tetap berjalan berkesinambungan. “Siti Fatimah ini muslim, dan di dalamnya ada altar persembahan untuk Dewa Bumi yang diyakini oleh umat Budha. Berdampingannya dua keyakinan dalam satu komplek di Pulau Kemaro ini membuktikan bahwa bersatunya umat Budha dan Islam membawa keselarasan dalam kehidupan, karena keyakinan adalah mutlak hubungannya antara manusia dengan Sang Pencipta. Akulturasi perlu terus dikenang untuk menanamkan semangat toleransi dan kerja sama bagi generasi baru,” terang Linda, salah satu penjaga di Pulo Kemaro.
Menurut saya, Pulo Kemaro yang total wilayahnya 24 hektar ini layak menjadi ikon wisata budaya dan wisata keagamaan. Tidak hanya untuk kawasan nasional, tetapi juga internasional. Sekaligus menjadi saksi nyata idealisme Pancasila yang menjadi landasan Negara Indonesia tercinta.
Setelah puas berkeliling dan mengabadikan tempat bersejarah ini, kami pun meninggalkan pulau. Dalam perjalanan pulang, kembali kami menikmati kehidupan sungai yang sangat dinamis. Dalam hati, saya mengakui bahwa akulturasi yang begitu kuat dalam legenda Pulo Kemaro merupakan konsekuensi logis dari budaya maritim bangsa Indonesia yang sudah terkenal sejak zaman nenek moyang. Budaya ini pulalah yang membentuk karakter bangsa Indonesia sebagai bangsa yang terbuka dan tangguh. Terbuka pada perbedaan, dan bahkan menjadikan perbedaan tersebut menjadi kekayaan untuk maju.
- See more at: http://jelajahbumipapua.com/home.php?link=content-detail-tulis&kode=135&jdl=Wisata.ini.Padukan.Akulturasi.dan.Semangat.Maritim#sthash.SlU36nRa.dpuf
Angin berhembus kencang menghapus rasa panas di kulit, karena terpaan terik mentari. Debu menyeruak tiap kali kaki melangkah di pelataran Benteng Kuto Besak, yang sekaligus menjadi tepian Sungai Musi, Palembang, Sumatera Selatan. Memang, sudah beberapa hari itu Palembang mengerontang ditinggal gemercik hujan.
Kami ingin pergi ke Pulo Kemaro. Sebuah tempat wisata yang cukup tersohor di Bumi Sriwijaya ini. Dengan dahi mengrenyit menahan panas, kami bertanya kepada beberapa laki-laki nelayan di bibir sungai tentang keberadaan perahu sewaan.
Perahu atau penduduk setempat menyebutnya ketek, menjadi transportasi utama untuk mencapai tempat yang berupa pulau di sebelah timur Kota Palembang atau sekitar lima kilo meter sebelah hilir Jembatan Ampera itu.
Naik ketek dengan mesin tempel menjadi bagian perjalan hidup yang tidak terlupakan. Sejauh ini, kami tidak pernah membayangkan bisa melewati bagian bawah Jembatan Ampera yang menjadi icon Kota Palembang. Tidak hanya itu, dengan ketek pula kami menjumpai berbagai aktivitas warga di sepanjang aliran Sungai Musi. Misalnya, ada yang berniaga dengan kapal-kapal besar, berjumpa dengan warga yang menambang pasir, aktivitas pelabuhan barang, dan yang menarik adalah ketika berpapasan dengan perahu cepat. Ombak yang mereka timbulkan membuat ketek kami berayun-ayun, bahkan sempat melontarkan pantat kami dari sepotong papan yang menjadi landasan duduk.
Pulo Kemaro sangat mudah dikenali. Dari kejauhan, setelah melakukan perjalanan 30 menit, di tengah rerimbunan pohon tampak bangunan Pagoda setinggi 9 tingkat bercat mayoritas merah dan kuning. Dua warna yang lekat dengan budaya Tionghoa.
Kata “kemaro” sendiri dalam bahasa Indonesia berarti kemarau. Dinamakan Pulo Kemaro atau Pulau Kemarau karena pulau ini tidak pernah digenangi air walaupun volume air di sungai Musi sedang meningkat.
Di bagian depan pulau ada bangunan gedung yang merupakan Klenteng tempat sembahyang umat Budha. Klenteng yang dibangun sejak 1962 itu awalnya hanya berupa bangunan Klenteng Soei Goeat Kiong (atau yang lebih dikenal dengan Klenteng Kuan Im). Bangunan Pagoda berlantai 9 itu baru mulai dibangun tahun 2006. Di depan klenteng terdapat pula makam Tan Bun An dan Siti Fatimah yang berdampingan. Kisah cinta mereka berdualah yang menjadi legenda terbentuknya pulau ini.
Sebuah Legenda
Pada satu kisah, seorang putri Palembang Siti Fatimah terlibat kisah cinta dengan anak seorang putra raja di Cina bernama Tan Bun Ann. Tan Bun Ann yang terperdaya oleh kecantikan sang putri mengajukan niat untuk melamar Siti Fatimah. Ayah Siti Fatimah, seorang raja di Sriwijaya, mengajukan syarat kepada Tan Bun Ann untuk menyediakan sembilan guci berisi emas. Keluarga Tan Bun Ann bersedia menerima syarat itu, maka disediakanlah sembilan guci berisi emas.
Karena khawatir akan ancaman perompak, tanpa sepengetahuan Tan Bun Ann, keluarganya menaruh sayur-mayur di atas emas-emas di dalam guci itu. Sesampainya di Sriwijaya, ketika akan menyerahkan kesembilan guci tersebut Tan Bun Ann memeriksa isinya. Betapa terkejut dan marahnya dia ketika melihat isi guci tersebut adalah sayur-mayur. Tanpa memeriksa lebih dahulu, guci-guci tersebut dilemparkan ke Sungai Musi. Ketika guci-guci tersebut dilemparkan, ada satu guci yang pecah, sehingga menampakkan kepingan emas yang ada di dalamnya.
Melihat hal itu, Tan Bun Ann menyesali perbuatannya dan menceburkan diri ke Sungai Musi. Siti Fatimah pun lalu ikut menceburkan diri sembari berkata “Bila suatu saat ada tanah yang tumbuh di tepian sungai ini, maka di situlah kuburan saya!”. Kalimatnya menjadi nyata dengan adanya Pulo Kemaro. Itulah legenda asal-usul Pulau Kemaro.
Bangunan yang dipercayai sebagai makam Siti Fatimah bergabung dalam satu komplek Klenteng Hok Tjing Rio di mana di dalamnya juga terdapat Dewa Bumi (Hok Tek Cin Sin), dewanya umat Budha. Di makam Siti Fatimah, para penziarah juga dapat melihat sejauh mana peruntungan yang di dapat di masa depan.
Kehadiran Klenteng Hok Tjing Rio dengan luas 3,5 hektar itu juga menjadi salah satu jejak sejarah Cina dalam perkembangan Palembang. Bangunan klenteng terdiri atas pendopo di tepi Sungai Musi, dua menara tempat pembakaran uang emas, ruang utama, ruang belakang, dan ruang keramat kuburan pasangan Siti Fatimah dan Tan Bun An.
Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa Pulau Kemaro menghadirkan dua unsur keyakinan berbeda namun tetap berjalan berkesinambungan. “Siti Fatimah ini muslim, dan di dalamnya ada altar persembahan untuk Dewa Bumi yang diyakini oleh umat Budha. Berdampingannya dua keyakinan dalam satu komplek di Pulau Kemaro ini membuktikan bahwa bersatunya umat Budha dan Islam membawa keselarasan dalam kehidupan, karena keyakinan adalah mutlak hubungannya antara manusia dengan Sang Pencipta. Akulturasi perlu terus dikenang untuk menanamkan semangat toleransi dan kerja sama bagi generasi baru,” terang Linda, salah satu penjaga di Pulo Kemaro.
Menurut saya, Pulo Kemaro yang total wilayahnya 24 hektar ini layak menjadi ikon wisata budaya dan wisata keagamaan. Tidak hanya untuk kawasan nasional, tetapi juga internasional. Sekaligus menjadi saksi nyata idealisme Pancasila yang menjadi landasan Negara Indonesia tercinta.
Setelah puas berkeliling dan mengabadikan tempat bersejarah ini, kami pun meninggalkan pulau. Dalam perjalanan pulang, kembali kami menikmati kehidupan sungai yang sangat dinamis. Dalam hati, saya mengakui bahwa akulturasi yang begitu kuat dalam legenda Pulo Kemaro merupakan konsekuensi logis dari budaya maritim bangsa Indonesia yang sudah terkenal sejak zaman nenek moyang. Budaya ini pulalah yang membentuk karakter bangsa Indonesia sebagai bangsa yang terbuka dan tangguh. Terbuka pada perbedaan, dan bahkan menjadikan perbedaan tersebut menjadi kekayaan untuk maju.
- See more at: http://jelajahbumipapua.com/home.php?link=content-detail-tulis&kode=135&jdl=Wisata.ini.Padukan.Akulturasi.dan.Semangat.Maritim#sthash.SlU36nRa.dpuf

Senin, 20 Mei 2013

Telisik Jejak Rekening Gendut Polri, dari Tahun 2010 sampai Aiptu LS



Penegakkan hukum di Indonesia memang jauh dari harapan. Zaman demokrasi dan keterbukaan publik yang membuat pengawasan publik pada pejabat negara ternyata kalah garang dengan sikap "ndablek" para pejabat yang terkait. "Maka jangan salahkan rakyat kalau anarkis!" begitu selentingan beberapa orang sambil menyeruput kopi di pinggiran jalan.

Salah satu kasus yang cukup hangat, sehangat gelas kopi di sudut warung adalah terbongkarnya (atau dibongkarnya) rekening gendut Aiptu LS. Dengan langkah yang sangat cepat, Bareskrim Polri memproses anggotanya tersebut. Status tersangka pun menjadi berita terakhir hari ini. Sikap sigap ini berbuah sedikit harapan bagi masyarakat. Media pun merangkum harapan itu dalam sebuah judul berita "Bongkar Rekening Gendut Aiptu Labora, Momentum Polri Bersih-bersih" (DetikHot, Senin, 20/05/2013/ 10:46 WIB).

Harapan akan masih adanya hukum yang tidak pandang bulu, sedikit bertambah ketika Aiptu LS langsung diperiksa di Jakarta. Setidaknya logika awam mengatakan bahwa sang tersangka disterilkan dari pihak-pihak yang berkepentingan. Namun apa daya, harapan tinggal harapan, pemeriksaan Aiptu LS dipindahkan ke Papua. Daerah di mana sang bintara tinggi tersebut bertugas selama 27 tahun. Logika awam pun mengatakan, waktu tugas selama itu bagi anggota polisi cukup aneh, dan waktu yang lama untuk membentuk jejaring "bisnis." Lalu, kira-kira apa tujuan pemeriksaan Aiptu LS dipindah ke Papua???

Sudahlah..tidak usah berharap banyak. Tidak usah terlalu membiarkan oksigen masuk sedikit dalam jejaring pembuluh darah kita. Pejabat kita memang terlalu 'ndablek' untuk diberikan masukan, diberikan kritik, diberikan makian, diberikan sederet demo anarkis. Kenapa saya mengatakan hal tersebut?

Karena kasus Aiptu LS bukan sekali ini terjadi. Kasus rekening gendut bukan kali ini saja terjadi. Headline berita yang membubung harapan masyarakat tentang "Saatnya unsur Polri bersih-bersih" bukan kali ini saja terjadi.  

Masih ingat kisah Rekening Gendut Polri? Pertengahan tahun 2010 masyarakat digemparkan oleh laporan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Tempo pada 29 Juni 2010 melansir perwira polisi yang dicurigai memiliki rekening gendut: Inspektur Jenderal MS dengan kekayaan: Rp 8.553.417.116 dan US$ 59.842 (per 22 Mei 2009); Inspektur Jenderal SYW dengan Kekayaan: Rp 6.535.536.503 (per 25 Agustus 2005); Inspektur Jenderal BG dengan Kekayaan: Rp 4.684.153.542 (per 19 Agustus 2008); Inspektur Jenderal BH dengan kekayaan Rp 2.090.126.258 dan US$ 4.000 (per 24 Maret 2008); Komisaris Jenderal SD dengan kekayaan: Rp 1.587.812.155 (per 2008); dan Inspektur Jenderal BS. 

Atas laporan dan pemberitaan tersebut, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono langsung memerintah Kapolri untuk mengusut tuntas. "Tolong diselesaikan dan dikelola dengan baik. Kalau ada memang yang termasuk di wilayah pelanggaran hukum, tolong diberi sanksi. Kalau tidak, ya jelaskan," ujar Presiden, Senin (5/7/2010) di Kantor Presiden, Jakarta sebagaimana diwartakan Kompas.Com

Bagaimana kisah akhir dari laporan rekening gendut petinggi polri di atas? Pengalaman saya, tidak ada kabarnya lagi tuh. Yang saya ingat, saya sangat sulit membeli majalah Tempo edisi rekening gendut Polri karena menurut pedagang sudah diborong saat matahari pun masih tidur di timur. Semua majalah langsung diangkut menggunakan mobil.

PPATK tidak jeri. Republika pada Jumat 17 Februari 2012 memberitakan bahwa Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) melaporkan adanya ratusan rekening 'gendut' dengan transaksi mencurigakan. Mabes Polri menyatakan sebagian dari ratusan rekening mencurigakan tersebut telah dilakukan pemeriksaan.

"Sebagian itu sudah ada yang diperiksa karena kan sudah ada data-datanya, penyidik tinggal memanggil pemilik rekening tersebut," kata Kepala Divisi Humas Polri, Irjen Saud Usman Nasution di Mabes Polri, Jakarta, Jumat (17/2). Saud menambahkan, pemeriksaan itu dilakukan oleh penyidik Bareskrim Polri. Namun ia enggan menjelaskan hasil pemeriksaan itu.

Saat ditanya apakah dari sebagian dari ratusan pemilik rekening mencurigakan tersebut di antaranya Pati Polri, ia enggan menjawabnya. Ia berkelit pemilik rekening-rekening mencurigakan tersebut dirahasiakan dan tidak dapat dipublikasikan. "Dalam pemeriksaan apakah bisa dipertanggungjawabkan atau tidak. Kalau tidak, maka kita akan memprosesnya dengan ancaman hukuman minimal dua tahun. Tapi kita tidak bisa menjelaskan karena rekening ini dirahasiakan."

Apakah ada kelanjutannya???

Dalam perkembangan selanjutnya, Komisi Pemberantasan Korupsi berhasil membongkar kasus korupsi pengadaan simulator SIM di Korlantas Polri yang menjadikan jenderal polisi bintang dua duduk di kursi terdakwa.

Banyak pihak menyatakan harapannya, supaya kasus ini bisa menjadi pintu masuk KPK membongkar rekening gendut petinggi Polri yang sejak lama digantung. Harapan ini dikuatkan karena KPK cukup bernyali dalam memberantas tindak pidana korupsi sekalipun melibatkan petinggi penegak hukum.

Nah, kalau kita cermati, saat ini ada 2 lembaga penegak hukum sedang mengusut kasus anggota polisi. KPK dengan kasus simulator yang sudah memasuki masa sidang. Dan Polri dengan Aiptu LS yang baru menetapkan status tersangka. Keduanya "dibebankan" harapan masyarakat bahwa ini menjadi momentum untuk membersihkan institusi Polri dari tindak korupsi atau pemanfaatan jabatan untuk memperoleh keuntungan pribadi atau keluarga. Tentu hal ini tidak lepas dari kasus rekening gendut yang telah merebak luas pada tahun 2010.

Jadi, KPK atau Polri kah yang akan memenuhi harapan masyarakat? Atau tidak kedua-duanya?

Minggu, 19 Mei 2013

Jejak Sejarah Sang Proklamator di Rengasdengklok

Rumah singgah Bung Karno dan Bung Hatta di Rengasdengklok
Cuaca telah memberi tanda bahwa perjalanan tidak akan menyenangkan. Dari Jakarta mendung terus menggelanyut sampai ke daerah Kecamatan Rengasdengklok, Kabupaten Karawang, Provinsi Jawa Barat. Namun, saya dan keluarga tetap membulatkan untuk menapak tilas peristiwa “penculikan” Soekarno – Hatta oleh sekelompok pemuda.

“Maaf, Pak. Kamar Bung Karno belum bisa dimasukin,” kata Djiaw Hoy Lin, saat kami baru datang. Puteri Djiauw Kie Song itu memberi isyarat bahwa ada “orang pintar” yang sedang bersemedi di dalam kamar Bapak Proklamator.

Menurut penuturan Lin, rumahnya yang bersejarah itu senyatanya telah hilang tergerus aliran sungai Citarum yang alirannya berubah, pada tahun 1957. Rumah yang ada sekarang adalah rumah baru yang dibangun untuk tempat hunian Djiauw Kie Song dan anak-anak keturunannya. “Di tempat inilah kami menyimpan benda-benda bersejarah yang dulu digunakan oleh Bung Karno dan Bung Hatta berunding dengan para pemuda,” tuturnya.

Namun kondisi rumah sekarang pun tampaknya tidak lebih baik dengan rumah sebelumnya. Karena posisinya yang berada di dataran rendah. Untuk menjangkau rumah ini pun kami harus melewati jalan yang menurun dan di beberapa titik terdapat genangan.  “Bagaimanapun juga kami tetap akan menjaga semua peninggalan ini. Karena sudah menjadi wasiat keluarga kami,” ungkap Lin.

Saat ditanya apakah keluarga berniat memperbaiki rumah, ia dengan nada lirih menyatakan tidak memiliki biaya. Lin bersama keluarganya hanya mengandalkan warung yang berada di depan rumahnya. Sebenarnya sudah ada dari Pemda yang mengukur lahan untuk dibuatkan pagar, tapi belum terealisasi. “Siapa pun yang datang ke sini, kami tidak kenakan tarif, hanya diminta mengisi daftar tamu saja.”

Kalau ditanya harapan, kata Lin, supaya Pemerintah baik Pusat maupun Daerah dapat memberi bantuan untuk perawatan rumah. Selain itu juga minta dibuatkan jalur petunjuk, sehingga memudahkan pengunjung untuk datang. Yang ada di rumah ini, kamar sebelah kanan meja persembahan adalah kamar Bung Karno yang di dalamnya ada barang-barang yang pernah dipakai. Sebelah kiri adalah kamar Bung Hatta. “Ranjang Bung Karno sudah dibawa ke museum, tapi kalau rancangnya Bung Hatta ini asli.” 

Meja tempat buku tamu dan berang kenangan keluarga bersama Bung Karno





Djiaw Hoy Lin sedang menjelaskan riwayat rumahnya yang pernah disinggahi oleh Bung Karno dan Bung Hatta 

Peristiwa Rengasdengklok
Rumah Lin masuk dalam pusaran sejarah nasional, karena adanya “Peristiwa Rengasdengklok.” Hal ini bermula saat Jepang menyatakan menyerah tanpa syarat kepada sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945. Berita tentang kekalahan Jepang ini masih dirahasiakan oleh Jepang. Namun demikian para pemimpin pergerakan dan pemuda Indonesia lewat siaran luar negeri telah mengetahuinya pada tanggal 15 Agustus 1945.

Untuk itu para pemuda segera menemui Bung Karno dan Bung Hatta di Pegangsaan Timur No.56 Jakarta dan meminta agar mau memproklamasikan kemerdekaan Indonesia lepas dari pengaruh Jepang. Bung Karno dan Bung Hatta tidak menyetujui dengan alasan bahwa proklamasi perlu dibicarakan dalam rapat PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia).

Malam hari tanggal 15 Agustus 1945 diadakan rapat di ruang Laboratorium Mikrobiologi di Pegangsaan Timur yang dihadiri oleh Soekarni, Yusuf Kunto, Syodanco Singgih, dan Chaerul Saleh sebagai pemimpinnya. Darwis dan Wikana menyampaikan hasil rapat, yakni mendesak agar Soekarno-Hatta memutuskan ikatan dengan Jepang. Saat itu, muncul suasana tegang, karena Soekarno-Hatta tidak menyetujuinya. Golongan muda tetap mendesak agar tanggal 16 Agustus 1945 diproklamasikan kemerdekaan, sedangkan golongan tua berpegang teguh perlunya diadakan rapat PPKI.

Di tengah ketegangan itu, pada tanggal 16 Agustus 1945, golongan muda mengadakan rapat di Asrama Baperpi, Jalan Cikini 71 Jakarta. Selesai rapat, diputuskan untuk “menculik” Bung Karno dan Bung Hatta keluar kota agar tidak terkena pengaruh Jepang. Soekarno-Hatta dibawa oleh Soekarni, Yusuf Kunto, dan Syodanco Singgih ke Rangasdengklok. Pada sore harinya, Ahmad Soebarjo memberi jaminan bahwa selambat-lambantnya esok hari tanggal 17 Agustus 1945 Soekarno-Hatta akan memproklamasikan Kemerdekaan Indonesia, maka Cudanco Subeno (komandan kompi tentara PETA di Rengasdengklok) memperbolehkan Soekarno-Hatta kembali ke Jakarta.
Kamar tempat Bung Karno istirahat. Tempat tidurnya masih asli

Wisata Sejarah
Catatan sejarah telah menunjukkan kepada kita bahwa rumah Lin merupakan warisan yang tidak ternilai untuk bangsa Indonesia. Kami ikut bangga, walaupun dengan kondisi rumah dan lingkungan seadanya tapi banyak pemudi dan pemuda yang berkunjung. Hari itu, di pelataran rumah yang sempit, berjejer motor yang jumlahnya tidak kurang dari 20 dan 3 mobil.

Bagi para pembaca yang tergugah untuk mendalami sejarah perjuangan bangsa kita, ada banyak cara untuk ke rumah singgah Bung Karno dan Bung Hatta. Kalau dari Jakarta, ada beberapa terminal yang bis-nya melayani langsung ke Karawang, misalnya Terminal Kampung Rambutan, Pasar Rebo atau Kali Deres. Setelah naik bis, turun di Terminal Bis Tanjung Pura, Karawang. Dari situ tinggal naik angkot jurusan Rengasdengklok.

Bagi yang naik kendaraan pribadi, bisa melewati jalan tol Jakarta – Cikampek dan keluar di Karawang. Dari sana ikuti petunjuk arah menuju Terminal Bis Tanjung Pura. Dengan mengikuti jalan utama, setelah sekitar 12,1 kilometer dari terminal, kita berbelok ke kiri setelah melihat ada papan penunjuk jalan ke arah monumen Kebulatan Tekad Rengasdengklok.

Jalan yang rupanya baru dibuat belum terlalu lama itu membujur melewati persawahan sepanjang 2,2 kilometer sebelum akhirnya sampai ke monumen. Dari situ kita tinggal tanya penduduk setempat di mana letak rumah Bung Karno. Mudah bukan? Selamat berwisata sejarah…